Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Versi Cak Nur
I.
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan suatu
bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang
hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin
dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam
waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara
berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja
tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu
diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang
beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu
berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya
itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu
masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan
kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai
itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai,
maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat
perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi
kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban
manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada
dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu
bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional,
dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka
satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri.
Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak
adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat
persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung
gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada
Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan
"Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran.
Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu
segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian
itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam
menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu
disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada
secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan
dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif,
ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan
kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada
pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan
sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan
indera.
Sesuatu yang diperlukan
itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung
dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima
pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang,
demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan
kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri
yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu
untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu
telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak
Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada
Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan
kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan
kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain
berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi,
yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran
merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan
tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada
hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (16:89).
Jadi untuk memahami
Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada
Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka
kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus
dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran
didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa
ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti
oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan
secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu
adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada
pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil,
Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya
daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan
Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa
Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin
(57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan"
(2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada" (57:4).
Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama
dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala
yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber
kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju
kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau
"ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang
sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang
lain).
Tuhan menciptakan alam
raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (6:73, 25:2). Oleh
karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan
mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya
penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara
harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan
peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna
dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian
manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (10:101).
Jadi kenyataan alam ini
berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa
alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau
maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit,
yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat
Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan
sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi
riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu
mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan
Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak
ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk tertinggi
manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165).
Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka
urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya
bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini
membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah
wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat
hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana
adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara
otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan
kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada
hukum-hukum kehidupannya sendiri (33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena
sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada
segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab: segala
sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses
yang tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan
dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah
Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas
sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju
kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi
kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu
(17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional
yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26).
Oleh karena itu kehidupan
yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11).
Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu
pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya
dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia
(sejarah).
Untuk memperoleh ilmu
pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam
dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas
yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan
dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai
Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam.
Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada
Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha Esa (41:37).
Ini disebut
"Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan
tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa
syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju
kebenaran.
Kesudahan sejarah atau
kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan
bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan
akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana
Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu tidak
lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat.
Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat
mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48).
Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin
kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat
dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya
diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187).
II. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di muka,
bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah
wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia
bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu
keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus
dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30:30).
"Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan,
kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau
kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51:56, 3:156).
Fitrah merupakan bentuk
keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya
dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada
dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam
kerja atau amal perbuatanya (19:105, 53:39). Nilai- nilai tidak dapat dikatakan
hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang
kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di
dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan
tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan
melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita
kepedihan (16:97, 4:111).
Hidup yang pernuh dan
berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang
didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang
mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas-luasnya (29:6).
Dia diliputi oleh semangat
mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia menyerap segala sesuatu
yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan
dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif
dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas,
berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran
dari manapun datangnya (6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang
benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan
manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang
dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati
(insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu
keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang
terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan,
kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja.
Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak
perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia
tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak
membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban
serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat
manusia.
Baginya tidak ada
pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi
dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya
dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya,
yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5).
Dia seorang yang ikhlas,
artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan
merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni
(2:207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan
itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan
lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat
nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (35:10). Hal itu akan
menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal
akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci
kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan
selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja
secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
III. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)
Keikhlasan yang insani itu
tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela
tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam
pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan
sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan
manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya.
Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati.
Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah
mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan
baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus
(8:25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal
perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya dahulu
di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban
bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan yang mutlak (2:48,
31:33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat
sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah
pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak
kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah
penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka
kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas
hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan
lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan
tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk
sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari
keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.
Oleh karena itu
kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah
masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak
berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari
kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya
hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam - hukum yang menguasai
benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri - yang tidak tunduk dan tidak
pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya
"keharusan universal" atau
"kepastian umum" dan “takdir”
(57:22).
Jadi kalau kemerdekaan
pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana
terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang
harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan
hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan
itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai
penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan.
Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya
batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada
kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif
manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan
"ikhtiar" artinya pilih merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan
kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar
merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi
banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh
suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada
kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia
menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan
pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti
perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi
sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk
berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya
sendiri.
Manusia tidak dapat
berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak
terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri
karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (57:23).
IV. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN
Telah jelas bahwa hubungan
yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan
penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan.
Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya
ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun
dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada
kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian
kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran
menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan
terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan
mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir
dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu
ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti
kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata
dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian
sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai
Allah (31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran
(3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah
pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh sebab itu seseorang
manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain
adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu
kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho"
daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan
kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti
segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang
terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan
hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding
bagi kemanusiaan (92:19-21).
Kata "iman"
berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang
mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan
mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian
kepada Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi
diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya,
manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan
diri kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya
kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan
kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan
terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang
kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia
yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan
peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian
sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban
kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang
tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara
lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara
kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian
pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup
adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada
sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226).
Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak
dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan
alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu
yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal
saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan
pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan
kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya
karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada
perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah
tidak sejati (24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat
mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar
selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109).
"Syirik"
merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan,
dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri
kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan
orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia
menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku
khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”.
Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu
sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi
karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah
pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain
Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu
selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang
yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik,
sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua
perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya
sendiri maupun kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan
adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang
wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak
melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad
baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada
sesama manusia (16:90).
V. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Telah diterangkan dimuka,
bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan
pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga
daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam
suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial,
manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa
berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat
itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi
itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya
(43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri:
sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi,
sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (5:48).
Pemenuhan suatu bidang kegiatan
guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh
sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi
kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari
satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39). Peningkatan kemanusiaan
tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk
mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan
kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi
yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan
kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama
ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas
sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain
(kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (12:53,
30:29).
Ancaman atas kemerdekaan
masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi
anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain
kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang
harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan.
Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih
satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang
bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan
kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang
kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu
bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua
nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak
bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan
tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk
masyarakat yang bahagia (5:2).
Sejarah dan
perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar
antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah
ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung
manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan
ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian - sesudah sejarah
(9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang
bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam
membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).
Manusia mengenali dirinya
sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia
mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk
memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup
gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam
pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13,
49:10).
VI. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Telah kita bicarakan
tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan
pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika
kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak
terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya.
Akibatnya pertarungan
keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi
(92:8-10). Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan
kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat (5:8).
Siapakah yang harus menegakkan keadilan, dalam masyarakat? Sudah barang pasti
ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu
kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya
senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu
menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya
sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (2:104).
Kualitas terpenting yang
harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran
kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan
yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau
setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat.
Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak
asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain
dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung
jawab sosial.
Negara adalah bentuk
masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang
terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban
menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara
dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada
kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia
sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam
masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat
dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan
memimpin diri sendiri (Hadist: “kullukum
raain wakullukum mas uulun ‘an raiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh
karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari
masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat
berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak
terganggu (42:28, 42:42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan
rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan
mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan
pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara
sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip
kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah
amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat
kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib
dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah
termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya
(pengajar tentang Kebenaran) (4:59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati
ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME
(5:45).
Perwujudan menegakkan
keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang
ekonomi atau pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut
agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam
masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan
perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan
golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan
produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil
dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena kemerdekaan tak terbatas
mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang
semakin dalam. Proses selanjutnya - yaitu bila sudah mencapai batas maksimal -
pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan
membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (17:16).
Dalam masyarakat yang
tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi
yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan
antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam
masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan
yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku
daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau
korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang
miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi
pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan
kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi
dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang
tampuk pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-183, 2:279, 28:5).
Kejahatan di bidang ekonomi
yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan
mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya
karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat
kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka.
Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan
segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (2:278-279).
Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta
kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan
umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka menegakkan keadilan inilah
membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan
kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas
dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala
bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan
(nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau
cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang
tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan)
sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar
diharamkan) (3:110).
Pembagian ekonomi secara
tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip
Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak
melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab
nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal
perbuatan yang nyata (61:2-3).
Dalam suatu masyarakat
yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri,
manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang
pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil
pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital
itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan
bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital
atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Oleh karena itu menegakkan
keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan
dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi
agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya
tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinyu, sebagai bentuk formil
peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam
meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah
kekejian dan kemungkaran (29:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang
benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang
agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa
meninggalkannya berarti merobohkan agama” -Baihaqi). Sembahyang
menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang
ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan
sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang
tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah
sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah
terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental
terhadap kemanusiaan.
Dalam masyarakat yang adil
mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin.
Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan
pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan
dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta kekayaan dan
adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan - kemampuan
pribadi, fisik maupun mental (30:37).
Walaupun demikian usaha -
usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus
dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir
masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya
dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (9:60).
Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal
saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus
dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu
harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha
Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana
penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (2:188).
Sebagaimana ada ketetapan
tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana
mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya
digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan
pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.
Seorang dibenarkan
mempergunakan harta kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam batas
tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata - rata penggunaan dalam masyarakat
(25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan
perikemanusiaan (17:26-27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap
pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif (17:16).
Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri
sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang
dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38).
Hal itu semuanya merupakan
kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan
(10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus
diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).
Pemilikan oleh seseorang
(secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan.
Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk
kepentingan umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin
diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat
dalam hubungan keluarga (70:24-25). Adalah kewajiban negara dan masyarakat
untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara
yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan
oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara
terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima
tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa
pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah
pendidikan, kecakapan yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian
kekayaan bangsa yang pantas.
VII. KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari seluruh uraian yang
telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada
kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh (95:6).
Iman dalam pengertian
kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta
menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir
dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran,
kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan.
Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian
dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna
untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?.
Sebagaimana setiap
perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan
ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam
kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada
yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28:88). Jadi semua nilai yang benar adalah
bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan
(6:57).
Oleh karena itu manusia
berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada
gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah
seorang tradisional, apalagi reaksioner (17:36). Dia menghendaki
perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia
senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya.
Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari
sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah
alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya,
sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang
mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan
adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia,
yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri
(41:53).
Jadi ilmu pengetahuan
adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu
pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada
kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35:28). Dengan iman
dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang
tertinggi (58:11).
Ilmu pengetahuan ialah
pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan
dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya
ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna
dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan
itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar
dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi
ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat
dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio
(45:13).
Demikian pula manusia
harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3:137). Hukum
sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa
manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan
menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu
(91:9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan
hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah
adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk
dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang
(12:111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah
umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan.
VIII. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang
telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb:
1.
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan
keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak.
Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi
kemanusiaan dan amal saleh. Iman
tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha
dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang
benar dalam peradaban dan berbudaya.
2.
Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan
melakukan ibadah atau pengabdian
formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada
Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati
nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah
menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk
mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan
kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan
diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kemanusiaan
orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi
dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain Dengan ibadah
manusia dididik untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya
sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas,
yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata..
3.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil
bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang
maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan
dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya
sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus
dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih
maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk
kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan atau nahi mungkar.
Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas
dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan
taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
4.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar
kepada kemanusiaan melahirkan jihad,
yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh
manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada
Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan,
kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat
diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang
merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh
persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh
- musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia
yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan
kepada orang lain atau golongan lain.
5.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan
proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah
kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada
perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus
mendalami dan selalu mempergunakan ilmu
pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan
mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa
kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia
Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari
oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang
kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan
diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian, tugas
hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal.
///
Perdebatan tentang NDP; Perdebatanyang Kekanak-kanakan
OPINI | 23 October 2010 | 10:35 Dibaca: 471 Komentar: 3 Nihil
Dalam dua tahun belakangan ini, ada sebuah hal
menarik yang menjadi isu besar dalam dinamika permasalahan internal
Himpunan Mahasiswa Islam (HmI), yaitu perdebatan tentang Nilai Dasar
Perjuangan. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa perdebatan ini
dimulai sejak disahkannya NDP baru di kongres HmI ke 26 di Makassar
(makanya sering juga disebut sebagai NDP Makassar). Disebut baru,
karena NDP ini merupakan pertama kalinya materi-materi NDP yang
diajarkan di seluruh Indonesia diubah, sejak NDP ini pertama kali
dirumuskan oleh Nurkholish Madjid (Cak Nur) pada tahun 1969. Pasca
pengesahan penggunaan NDP baru ini sebagai dasar pengkaderan HmI
menggantikan NDP versi Cak Nur (atau sering disebut sebagai NDP lama)
rausan cabang yang ada di seluruh Indonesia terbelah dua, antara
menggunakan NDP baru versi kongres Makassar dengan yang tetap
menggunakan NDP lama.
Perdebatan tentang NDP mana yang digunakan dalam kegiatan-kegaiatan pengkaderan HmI ini berlangsung alot dan berlarut-larut dalam dua tahun belakangan. Mulai dari perdebatan warung kopi ala anak-anak HmI, menjadi bahan diskusi di forum-forum basic training hingga menjadi wacana panas yang bergulir pra-kongres.
Memang perbedaan pandangan dan pendapat dalam tradisi HmI bukanlah hal yang tabu dan janggal, bahkan budaya pluralitas dan perbedaan pandangan ini sendiri merupakan sebuah ciri khas sendiri bagi puluhan tahun pengalaman hidup HMI. Namun saya melihat bahwa ada yang salah dalam perdebatan tentang dualisme NDP di tubuh HmI selama ini. Perdebatan tentang NDP yang saya lihat cenderung mengarah pada perdebatan yang tidak substantif. Mengapa saya katakan tidak substantif, karena argumentasi-argumentasi yang sering muncul dalam perdebatan NDP bukanlah argumentasi yang menjelaskan tentang materi NDP yang berusaha dipertahankan oleh masing-masing pihak, melainkan argumentasi yang berusaha menyerang kelemahan NDP lain. Parahnya, saya melihat ada kecenderungan bahwa yang diserang dari NDP lain itu bukanlah isi NDP nya melainkan proses penyusunan NDP nya.
Coba kita perhatikan, Pihak yang mendukung NDP lama menyerang NDP baru karena proses penyusunannya yang katanya sangat tidak konstitusional, karena legalitas tim 8 sebagai penyusun naskah NDP tidak pernah diakui, Selain itu tim penyusunnya waktu itu dipengaruhi oleh pemikiran tunggal Arianto Ahmad yang disebut-sebaut sebagai pencetus ide NDP baru. Jika anda pernah membaca laporan hasil kerja tim sembilan (tim yang dibentuk oleh Pengurus Besar HmI untuk memverivikasi keabsahan NDP) serta naskah NDP yang dikirim ke seluruh cabang, maka kita bisa melihat bahwa argumentasi diberikan oleh Pengurus Besar (PB) HmI (yang belakangan menyatakan kembali ke NDP lama versi Cak Nur) merupakan penghakiman-penghakiman atas proses penyusunannya.
Di lain pihak, para pendukung NDP baru juga cenderung terjebak dalam perdebatan kekanak-kanakan ini dengan menyerang pemikiran Cak Nur sewaktu penyusunan NDP lama yang katanya banyak dipengaruhi oleh perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah.
Kenyataan ini diperparah dengan sikap tidak dewasa yang turut dipertontonkan oleh kader-kader HmI dalam polemik NDP ini. Sikap arogan dan merasa benar sendiri merupakan hal yang lumrah kita temui dalam perdebatan-perdebatan tentang NDP. Beberapa forum ilmiah yang harusnya bisa menjadi tempat dialog dan mempertemukan pendapat, berakhir tanpa menghasilkan apa-apa karena masing-masing pihak tidak dewasa dalam memandang permasalahan ini. Tokoh-tokoh dan sesepuh HmI yang harusnya bisa menunjukkan sikap dewasa dalam perdebatan ini juga malah ikut-ikutan menunjukkan arogansi intelektualnya, bahkan dalam beberapa hal menunjukkan taqlid buta dan pengagungan berlebihan terhadap Cak Nur.
Harusnya, perdebatan-perdebatan tentang NDP ini tidak dibawa ke perdebatan kusir yang tak kunjung usai melainkan dibawa ke forum-forum yang ilmah. Tapi tentu saja, menyediakan forum ilmiah juga tak akan pernah menyelesaikan masalah jika tak dibarengi dengan kedewasaan kader HmI dalam memandang persoalan ini. Bagi yang mendukung NDP lama versi kongres Makassar, silahkan ajukan rasionalisasi di forum ini secara ilmiah, jangan menutup diri terhadap perubahan, bukankah Cak Nur sendiri pernah bilang bahwa NDP hanyalah tafsiran beliau terhadap ajaran agama Islam yang selalu terbuka untuk dikritik dan diperbaiki. Yang mendukung NDP baru juga silahkan ajukan argumentasi dan berhenti memojokkan Cak Nur. Semua pihak juga harus berupaya persoalan NDP ini tidak dibawa ke ranah-ranah politis. Bagi para senior-senior HmI, juga harus menunjukkan kebijaksanaan dan keluasan cara berpikir, karena arogansi intelektual hanya akan membuat kita ditertawakan. Bukankah selama ini kader-kader HmI selalu mengklaim diri sebagai manusia-manusia intelektual, yang selalu bepikir inklusif dan dinamis?
Terakhir, saya ingin menyitir pendapat salah seorang pengurus PB HmI (saya lupa namanya) terkait dengan dualisme NDP ini. Beliau bilang, Jika kita ingin menyelesaikan masalah NDP ini secara serius, singkirkan NDP Cak Nur, singkirkan NDP Makassar, mari susun NDP baru. Mari melangkah maju, jangan mundur ke belakang.
Perdebatan tentang NDP mana yang digunakan dalam kegiatan-kegaiatan pengkaderan HmI ini berlangsung alot dan berlarut-larut dalam dua tahun belakangan. Mulai dari perdebatan warung kopi ala anak-anak HmI, menjadi bahan diskusi di forum-forum basic training hingga menjadi wacana panas yang bergulir pra-kongres.
Memang perbedaan pandangan dan pendapat dalam tradisi HmI bukanlah hal yang tabu dan janggal, bahkan budaya pluralitas dan perbedaan pandangan ini sendiri merupakan sebuah ciri khas sendiri bagi puluhan tahun pengalaman hidup HMI. Namun saya melihat bahwa ada yang salah dalam perdebatan tentang dualisme NDP di tubuh HmI selama ini. Perdebatan tentang NDP yang saya lihat cenderung mengarah pada perdebatan yang tidak substantif. Mengapa saya katakan tidak substantif, karena argumentasi-argumentasi yang sering muncul dalam perdebatan NDP bukanlah argumentasi yang menjelaskan tentang materi NDP yang berusaha dipertahankan oleh masing-masing pihak, melainkan argumentasi yang berusaha menyerang kelemahan NDP lain. Parahnya, saya melihat ada kecenderungan bahwa yang diserang dari NDP lain itu bukanlah isi NDP nya melainkan proses penyusunan NDP nya.
Coba kita perhatikan, Pihak yang mendukung NDP lama menyerang NDP baru karena proses penyusunannya yang katanya sangat tidak konstitusional, karena legalitas tim 8 sebagai penyusun naskah NDP tidak pernah diakui, Selain itu tim penyusunnya waktu itu dipengaruhi oleh pemikiran tunggal Arianto Ahmad yang disebut-sebaut sebagai pencetus ide NDP baru. Jika anda pernah membaca laporan hasil kerja tim sembilan (tim yang dibentuk oleh Pengurus Besar HmI untuk memverivikasi keabsahan NDP) serta naskah NDP yang dikirim ke seluruh cabang, maka kita bisa melihat bahwa argumentasi diberikan oleh Pengurus Besar (PB) HmI (yang belakangan menyatakan kembali ke NDP lama versi Cak Nur) merupakan penghakiman-penghakiman atas proses penyusunannya.
Di lain pihak, para pendukung NDP baru juga cenderung terjebak dalam perdebatan kekanak-kanakan ini dengan menyerang pemikiran Cak Nur sewaktu penyusunan NDP lama yang katanya banyak dipengaruhi oleh perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah.
Kenyataan ini diperparah dengan sikap tidak dewasa yang turut dipertontonkan oleh kader-kader HmI dalam polemik NDP ini. Sikap arogan dan merasa benar sendiri merupakan hal yang lumrah kita temui dalam perdebatan-perdebatan tentang NDP. Beberapa forum ilmiah yang harusnya bisa menjadi tempat dialog dan mempertemukan pendapat, berakhir tanpa menghasilkan apa-apa karena masing-masing pihak tidak dewasa dalam memandang permasalahan ini. Tokoh-tokoh dan sesepuh HmI yang harusnya bisa menunjukkan sikap dewasa dalam perdebatan ini juga malah ikut-ikutan menunjukkan arogansi intelektualnya, bahkan dalam beberapa hal menunjukkan taqlid buta dan pengagungan berlebihan terhadap Cak Nur.
Harusnya, perdebatan-perdebatan tentang NDP ini tidak dibawa ke perdebatan kusir yang tak kunjung usai melainkan dibawa ke forum-forum yang ilmah. Tapi tentu saja, menyediakan forum ilmiah juga tak akan pernah menyelesaikan masalah jika tak dibarengi dengan kedewasaan kader HmI dalam memandang persoalan ini. Bagi yang mendukung NDP lama versi kongres Makassar, silahkan ajukan rasionalisasi di forum ini secara ilmiah, jangan menutup diri terhadap perubahan, bukankah Cak Nur sendiri pernah bilang bahwa NDP hanyalah tafsiran beliau terhadap ajaran agama Islam yang selalu terbuka untuk dikritik dan diperbaiki. Yang mendukung NDP baru juga silahkan ajukan argumentasi dan berhenti memojokkan Cak Nur. Semua pihak juga harus berupaya persoalan NDP ini tidak dibawa ke ranah-ranah politis. Bagi para senior-senior HmI, juga harus menunjukkan kebijaksanaan dan keluasan cara berpikir, karena arogansi intelektual hanya akan membuat kita ditertawakan. Bukankah selama ini kader-kader HmI selalu mengklaim diri sebagai manusia-manusia intelektual, yang selalu bepikir inklusif dan dinamis?
Terakhir, saya ingin menyitir pendapat salah seorang pengurus PB HmI (saya lupa namanya) terkait dengan dualisme NDP ini. Beliau bilang, Jika kita ingin menyelesaikan masalah NDP ini secara serius, singkirkan NDP Cak Nur, singkirkan NDP Makassar, mari susun NDP baru. Mari melangkah maju, jangan mundur ke belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar