DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….ii
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………….........1
1.1
Latar Belakang……………………………………………………………..1
1.2 Rumusan
Masalah………………………………………………………….2
1.3
Tujuan……………………………………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………..3
2.1 Partisipasi
Politik Perempuan……………………………………………….3
2.2 Kendala-
Kendala Partisipasi Politik Perempuan…………………………...5
2.3
Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan........................................ 7
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 11
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 11
3.2 Saran.............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12
ii
Kata
Pengantar
Puji syukur kehadirat
Allah Subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya serta kesempatan
dan pemikiran yang telah diberikan kepada penyusun untuk dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Peran Wanita dalam Kancah Politik Nasional” ini. Makalah
ini disusun sebagai persyaratan untuk mengikuti Intermediate Traning(LK2)
berdasarkan referensi yang sesuai dengan materi yang disajikan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para
sahabat dan pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman.Amin.
Sebelumnya penyusun ingin berterima kasih
kepada Panitia pelaksana
Intermediate
Traning(LK2).
Penyusun berharap makalah
ini dapat digunakan sebagaimana mestinya, untuk itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Sambas, 23 Desember 2012
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan
politik yang berlangsung di suatu Negara sangatlah kompleks, mulai dari
pembuatan keputusan, berfungsinya lembaga- lembaga politik, praktik praktik
politik dan sebagainya.
Di era kontemporer
terdapat kebutuhan yang pasti untuk mendefenisikan peran perempuan dalam arena
sosial dan politik. Tampilnya perempuan di panggung politik Indonesia sudah
terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Perjuangan fisik melawan
kolonialisme Belanda juga banyak tampil tokoh-tokoh perempuan. Beberapa
diantaranya seperti Dewa Agung Istri Kaniya adalah tokoh perempuan yang
memimpin perang Kusamba, di wilayah Kerajaan Klungkung Bali, yang dijuluki
“wanita besi” dari Bali oleh pihak pemerintah Belanda. Cut Nyak Dien dan Cut
Meutia dari Aceh, Marta Tehahahu dari Maluku, Emmy Saelan dari Sulawesi Selatan
dll. Di Jawa Tengah R.A. Kartini dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kesetaraan
perempuan khususnya dalam bidang pendidikan. Di Jawa Barat nama Dewi Sartika
dikenalsebagai tokoh yang juga bergerak dalam meningkatkan pendidikan
perempuan. Keikutsertaan perempuan dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk
memperoleh kemerdekaan, membebaskan bangsa dari penjajahan telah terpatri dalam
berbagai dokumen bangsa ini.
Studi partisipasi politik bila dikaitkan dengan
wanita, ini membawa implikasi bahwa wanita, ini
membawa wanita sebagai sosok yang patut diperhitungkan dan diteliti
secara tersendiri atau diperlakukan sebagai actor atau subyek yang eksklusif
dalam politik. Meningkatnya kepedulian terhadap partisipasi politik wanita
menunjukan bahwa para ilmuwan dan para pengambil keputusan kini mulai menyadari
bahwa persoalan mengenai pembangunan tidak terlepas dari peran wanita dalam
segala aspek pembangunan.
Bertolak dari pemahaman terhadap pentingnya
keterlibatan wanita sebagai sumberdaya yang potensial untuk mencapai tujuan
nasional, maka studi tentang partisipasi politik wanita menjadi urgen untuk
dibahas .
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
partisipasi politik wanita di Indonesia?
2. Faktor-
faktor apakah yang mempengaruhi tingkat partisipasi
politik wanita?
3. Bagaimanakah
upaya untuk meningkatkan partisipasi politik wanita?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara
lain:
1. Mengetahui
bagaimana partisipasi politik wanita di Indonesia
2. Mengindentifikasi
dan mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik
wanita
3. Mengetahui
upaya apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi politik
wanita
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Partisipasi Politik Perempuan
Berbicara tentang perempuan dan politik, merupakan
bahasan yang menarik. Sebab, peran politik perempuan dari
perspektif kalangan feminisme radikal adalah dimana terjadinya transformasi
total (kalau perlu, dengan sedikit pemaksaan) peran perempuan di ranah
domestik ke ranah publik. Atau dalam bahasa populernya, kesetaraan gender.
Keterlibatan wanita di kancah politik bukan hal yang
baru. Dalam sejarah perjuangan kaum wanita, partisipasi wanita dalam
pembangunan, telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan,
ekonomi, lembaga kenegaraan, dan pemerintahan.
Berbicara tentang partisipasi politik wanita, tentu
saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi
politik menurut disiplin ilmu politik. Menurut Verba, Nie, dan Kim (1978:46,
dalam Afan Gaffar, 1991) partisipasi politik adalah “legal activities by private citizens than more or less directly aimed
at influence the selection of governmental personnel and/ or the action they
take”.
Mely G. Tan (1992, dalam Yulfita, 1995:1) membedakan
partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam
arti sempit yaitu berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam
segala kegiatannya; sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara
aktif dalam kegiatan yang mempunyai kemampuan, kesempatan dan kekuasaan dalam
pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Dalam sebuah lingkungan nyata, konstribusi politik
perempuan haruslah diletakkan dalam suatu cara bahwa aktivitas- aktivitas
kolektif didasarkan atas sebuah kehendak bebas, sukarela, sadar, dan aktif.
Inilah sebuah situasi ketika individu- individu masyarakat dan mengatur urusan-
urusan social (baik langsung maupun tidak) serta membantu membentuk kehidupan
masyarakat.
Dalam sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia, kita
mengenal tokoh- tokoh seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dan
sebagainya. Mereka memperjuangkan hak- hak wanita untuk dapat memperoleh
pendidikan setara dengan pria. Di bidang lain ada wanita yang berjuang untuk
merebut kemerdekaan seperti Cut Nyak Dien, Maria Tiahahu,Yolanda Marinis, dsb.
Organisasi wanita telah lama ada sebelum kemerdekaan, bahkan pada tanggal 22
Desembar 1928 mereka mengadakan kongres I. Bahkan kini terdapat 66 unit
organisasi wanita yang berhimpun dalam Kowani (Kongres Wanita Indonesia).
Secara UUD 1945 tidak membedakan laki- laki dan
perempuan dan menjamin bagi warga negaranya persamaan hak dan kewajiban di
bidang politik dan lainnya. Pada tahun 1978 persamaan hak, tanggung jawab, dan
kesempatan tersebut ditekankan secara eksplisit di dalam GBHN. Kepedulian
Indonesia terhadap persamaan hak ini juga tercermin dengan ikut sertanya
menandatangani konvensi mengenai penghapusan segala bentuk deskriminasi
terhadap perempuan pada tahun 1980 dan diretifikasi tahun 1984 melalui UU No.7
Tahun 1984.
Dalam segi Ideologi dan Hak Asasi Manusia,perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki
mempunyai hak , kedudukan dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesehatan,pendidikan,pekerjaan,hak untuk hidup, hak kemerdekaan pikiran, hak
untuk tidak disiksa, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak
untuk berserikat, berorganisasi, berpolitik, dan berbagai hak universal yang
dilindungi oleh hukum.Singkat kata semua hak yang dimiliki laki-laki tak
ubahnya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Perempuan dan laki-laki
mempunyai kedudukan yang sama, yang dijamin dan dilindungi oleh Negara.
Dalam konteks islam sendiri, perempuan dan laki-laki
mempunyai kedudukan yang sama bahwa yang paling mulia disisi Allah ialah yang
paling bertakwa. Perbedaannya dari sisi fisik saja, yaitu laki-laki lebih kuat
daripada perempuan. Laki-laki kepala rumah tangga dan perempuan ibu rumah
tangga. Meskipun beberapa ahli fikih menyatakan larangan total bagi aktivitas
perempuan dalam wilayah ini: sementara, pada saat yang sama, selainnya
menyisakan ruang bagi perubahan dalam aturan klasik ini, sebuah perubahan yang
di dasarkan atas ruang dan waktu. Sejauh hukum syariat tidak mengingkari peran
perempuan dalam masyarakat dan mendelegasikan mereka posisi yang netral, dan
sejauh al qur’an dan sunah menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang social,
perempuan memilki hak untuk partisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas
mengekspresikan pandangannya dan memberikan persetujuan atau kritiknya terhadap
berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini berkesuaian dengan penerimaan mereka
terhadap perintah al qur’an sebagai berikut:
“Dan orang-
orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71).
2.2 Kendala- Kendala Partisipasi
Politik Perempuan
Untuk dapat terlibat baik secara mental maupun emosi
dalam segala aspek kegiatan politik tidaklah mudah melakukannya karena beberapa
faktor. Kondisi wanita Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh
adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang seringkali
dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik wanita, dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu: hambatan internal dan eksternal.
Hambatan internal, pertama: kurangnya kesadaran
sebagian besar perempuan untuk berkiprah
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik. Kurangnya kesadaran ini dikarenakan
sosio-kultural mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan, dan
menyampaikan keinginan- keinginan di bidang politik. Kedua: aktivitas politik
dianggap tidak layak untuk perempuan, karena sifat- sifatnya yang berjauhan
dari citra untuk wanita. Dunia politik dianggap “keras”, “kotor”, “main kayu”,
dan penuh muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra wanita. Pandangan
ini membuat dunia politik itu bias laki- laki, bahkan dianggap tabu untuk
wanita. Konsekuensi lebih lanjut wanita menjadi enggan memasukinya. Wanita
menjadi pasif dalam berpolitik. Ketiga: lingkungan social budaya yang kurang
mendukung pengembangan potensi wanita, antara lain wawasan orang tua, adat,
penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga,
dan system pendidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan
kecilnya akses wanita pada penguasaan factor social ekonomi, menyebabkan terbentuknya
image dalam diri wanita bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria.
Dominasi
budaya patriarkhi seolah memberi garisan tegas bahwa antara perempuan dan
politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan
yang lainnya. Dunianya perempuan adalah di rumah yang meliputi wilayah domestik,
mengurus anak – anak dengan segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir di
luar rumah maka pekerjaan/karir bukanlah hal yang utama. Perempuan diharuskan
siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan
politik adalah tempat yang cocok bagi laki – laki karena penuh dengan intrik –
intrik berbahaya, terlihat macho, penuh manuver serta identik dengan
uang dan kekuasaan.
Dalam
pandangan Walby, meskipun sudah terdapat banyak pencapaian kaum wanita terhadap
hak-hak sipil mereka misalnya hak mendapatkan pekerjaan, kemudahan bercerai,
tunjangan bagi kaum wanita non-pekerja,sensor pornografi, kemudahan mendapatkan
alat kontrasepsi dan aborsi, serta hokum yang memudahkan bagi kaum wanita untuk
meninggalkan kaum pria yang melakukan kekerasan-tetap saja bersifat
patriarchal,sebagaimana halnya dengan kapitalis dan rasis. Kebijakan-kebijakan
negara belum lama diarahkan pada upaya untuk meyakinkan kaum wanita akan ranah
privat dari rumah,dengan sedikit upaya yang nyata untuk memajukan posisi kaum
wanita diranah public.Kaum wanita masih sedikit mendapatkan mendapatkan upah
dibanding kaum pria dan peluang yang sama dalam legislasi sering tidak
diperkuatkan.Kaum wanita dalam keluarga orang tua tunggal memperoleh sedikit
manfaat dari negara dan kaum wanita masih disakiti dengan ketersediaan
pornografi yang semakin besar dimasyarakat.
Kendala eksternal menurut Afan Gaffar (1991:25)
antara lain dari birokrasi yang paternalistic, pola pembangunan ekonomi dan
politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik.
2.3 Upaya Peningkatan Partisipasi
Politik Perempuan
Untuk mendorong peningkatan dalam partisipasi
politik perempuan, perlu pemahaman dan analisis secara menyeluruh sehingga
dihasilkan suatu rekomendasi kebijaksanaan yang tepat.
Pertama, harus dimulai pendidikan dari keluarga,
bahwa berkiprah serta berpartisipasi di dunia pillitik adalah salah satu bagian
yang penting untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara.
Kedua, anak perempuan yang mengikuti pendidikan
sejak disekolah menengah sampai Universitas, sebaiknya didorong untuk aktif mengikuti
organisasi seperti OSIS, BEM, dan organisasi ekstra universiter seperti HMI,
GMNI, organisasi pemuda seperti KNPI, dan organisasi kemasyarakatan seperti
Muhammadiyah, NU, dan lain-lain.Maka berarti secara sadar kaum perempuan telah
mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Sekarang ini, perempuan yang banyak
berkiprah di dunia politik adalah mereka yang sejak menjadi pelajar dan
mahasiswa telah aktif diberbagai organisasi pelajar, dan organisasi
kemahasiswaan.
Ketiga, melakukan advokasi terhadap kaum perempuan
supaya terpanggil untuk berpartisipasi dalam kancah politik.
Keempat, mempersiapkan anak-anak perempuan sejak
dini untuk terpanggil dan tertantang memasuki dunia politik. Dengan cara ini,
maka dimasa depan akan semakin banyak perempuan yang berkiprah dan
berpartisipasi dalam kancah politik.
Kelima, memberi pencerahan, penyadaran dan dorongan
kepada kaum perempuan supaya dalam berbagai kegiatan politik seperti
berpartisipasi dalam kampanye, pemilih, menjadi calon legislative, calon
Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Walkil Walikota,Bupati/Wakil Bupati, dan lain
sebagainya.
Beberapa
peluang bagi perempuan untuk dapat meningkatkan kualitas perannya dibidang
politik antara lain:
1. Pasal
17 dan 21 UUD 1945;
2. GBHN
yang sejak tahun 1978;
3. Konferensi-konferensi
wanita se-dunia.
Peluang-peluang yang mendukung tersebut,Kaum
perempuan sebenarnnya mempunyai peluang dan kesempatan yang besar untuk bisa
berkiprah dan berpartisipasi dalam dunia politik. Meskipun memang pada akhirnya
akan dikembalikan kepada wanita untuk memanfaatkannya atau tidak. Di era Orde
Reformasi, peluang perempuan semakin terbuka untuk menjadi pemain, bukan lagi
sekedar partisipan pasif. Setidaknya, ada empat factor yang memberikan harapan
terbukanya peluang kepada kaum perempuan untuk meningkatkan perannya di dunia
politik.
Pertama, semakin banyak perempuan yang berpendidikan
dan memiliki kesadaran pentingnya perempuan terjun ke dunia politik untuk
berpartisipasi membangun Indonesia yang maju dan sejahtera.
Kedua, tren politik nasional di era Orde Reformasi
yang member alokasi 30 persen kepada kaum perempuan untuk menjadi calon anggota
legislative.
Ketiga, mengingat besarnya potensi yang ada pada
wanita Indonesia yang secara kuantitas lebih besar daripada pria,maka
sewajarnyalah bila peluang dan potensi tersebut tidak disia-siakan.
Wanita dalam pengembangan kiprahnya sebagai warga negara,
mempunyai harapan sebagai pemilik masa depan bangsa, yang secara fungsional
harus mampu menempatkan diri sebagai pemimpin tenaga pembaharu,dinamisator dan
katalisator untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu wanita dalam menghadapi
tantangan abad XXI, harus mampu membekali dirinya dengan ilmu, teknologi dan
berbagai macam kemampuan dan keterampilan di berbagai bidang kehidupan seperti
politik, ekonomi, social dan budaya bangsanya.
Upaya
untuk mengentaskan ketidakberdayaan wanita yang berkaitan dengan kualitas
perannya dibidang politik, yang pertama adalah menghilangkan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita di pentas politik untuk mengaktualisasikan
kemampuannya. Hal tersebut tidak hanya selaras dengan tujuan pembangunan
nasional, tetapi juga karena jumlah wanita Indonesia adalah separo jumlah
penduduk Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar bila ada wakil yang dapat
menyuarakan aspirasi politik mereka.
Peran
wanita Indonesia di pentas politik sudah waktunya mendapat porsi yang
proporsional. Seyogyanya tidak ada lagi ucapan yang meragukan kemampuannya
untuk tampil di pentas politik, oleh karena itu harus ada gerakan yang
mendorong wujudnya kebijakan pemerintah yang memiliki kepekaan gender.
Untuk
mencapai keberhasilan gerakan tersebut, memerlukan akses wanita terhadap pembuatan
keputusan nasional. Hal tersebut sesuai pernyataan Senator Leticia Ramos
Shahani, ketua delegasi Philipina pada konferensi ke-empat PBB mengenai wanita
bahwa”akses terhadap pembuatan keputusan sangatlah penting bagi siapapun yang
menghendaki reformasi untuk memasukan dunia politik bagi wanita.” ( Angkatan Bersenjata,
14 September 1995).
Mengingat
masih kecilnya akses tersebut dan masih banyaknya prasangka di dunia yang
menghalangi pemilihan wanita sebagai anggota parlemen, maka menurut Chris
Fletchher anggota parlemen Selandia Baru mangatakan bahwa Panggung Aksi
Konferensi Ke- empat PBB mengenai wanita bulan September 1995, harus mendesak
pemerintah agar bersedia menyisihkan sedikitnya 50% kursi di parlemen bagi
wanita pada tahun 2005.
Dari
sisi keberanian wanita, perlu adanya penyadaran terhadap wanita bahwa pola
structural hubungan laki- laki dan perempuan yang terbangun selama ini harus
dirombak. Kaum wanita harus sadar akan hak asasinya, sehingga pola pemikiran
dominasi laki- laki yang selama ini mengakar dalam kehidupannya perlu dirubah,
dan diwujudkan dalam kemitrasejajaran.
Upaya
menuju ke arah cita- cita kesetaraan ini memang tidak mudah, bahkan rumit.
Upaya tersebut memerlukan keterlibatan semua pihak yakni kaum wanita sendiri,
kaum laki- laki, dan unsur- unsur kebijakan nasional yang berwawasan gender.
Proses penyadaran harus dilakukan secara simultan di kalangan baik laki- laki
maupun perempuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian
pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Potensi sumberdaya wanita Indonesia sangatlah
besar dan merupakan asset bangsa yang tak ternilai harganya yang perlu dibina,
dikembangkan dan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki sebagai subjek
dan obyek pembangunan.
b.
Secara yuridis formal Indonesia tidak membedakan antara laki-laki dan wanita
dalam bidang politik. Namun karena kendala baik yang bersumber dari intern wanita
itu sendiri maupun factor eksternal, maka partisipasi politik wanita dalam
pertumbuhannya jauh lebih rendah dibanding partisipasi politik laki-laki.
c. Peningkatan partisipasi politik wanita dapat
diupayakan melalui pemanfaatan peluang yang ada, baik yang sudah diatur dalam
GBHN maupun lembaga-lembaga tingkat internasional yang menangani masalah
wanita. Disamping itu perlu adanya redefinisi,reorientasi, dan revitalisasi
pendididikan politik agar lebih kondusif bagi pembinaan,pertumbuhan dan
peningkatan partisipasi politik bagi wanita pada khususnya dan semua negara
pada umumnya.
3.2
Saran
Dalam upaya peningkatan Kaum perempuan harus
mempersiapkan diri dengan terus- menerus meningkatkan kualitas individu dalam
ilmu pengetahuan, kemampuan berorganisasi dan memimpin, sehingga memberi
keyakinan kepada orang banyak bahwa yang bersangkutan memiliki kapasitas
(kecakapan), dan kapabilitas (kemampuan) untuk menjadi pemimpin.
Daftar Pustaka
Mahmudin,Menemukan
Kebenaran Islam.Gava Media,Cetakan Pertama 2006.
Daftary,Farhad,Tradisi-Tradisi
Intelektual.Jakarta,Erlangga,2001.
Akbar
S.Ahmed,Citra Muslim.Jakarta,Erlangga,1990.
Roger
M.Keesing,Antropologi Budaya.Jakarta,Erlangga,1981.
Rosalind
Horton dan Sally Simons,Wanita-wanita yang Mengubah
Dunia.Jakarta,Erlangga.2009.
Husein
Hakeem Ali, Membela Perempuan.Jakarta, Al-Huda.2005.
Al-Mubarakfuri
Shafiyurrahman,Islam dan Partai Politik. Jakarta, Pustaka at- Tazkia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar